Powered By Blogger

Monday, December 8, 2008

TUBUH SEHAT IDEAL DARI SEGI KESEHATAN

TUBUH SEHAT IDEAL DARI SEGI KESEHATAN
Oleh :
Prof. Dr. dr. Azrul Azwar MPH
Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan RI

PENDAHULUAN
Visi pembangunan bidang kesehatan yaitu Indonesia Sehat 2010, diharapkan akan
menjadikan masyarakat Indonesia untuk dapat hidup dalam lingkungan sehat dan
ber perilaku hidup sehat. Indonesia sehat 2010 dimaksudkan juga untuk mendorong
agar masyarakat dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan
merata guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Manusia yang sehat tidak hanya sehat jasmani, tetapi juga sehat rohani. Sehingga
tubuh sehat dan ideal dari segi kesehatan meliputi aspek fisik, mental dan sosial dan
tidak hanya bebas dari penyakit (Definisi Sehat WHO Tahun 1950). Semua aspek
tersebut akan mempengaruhi penampilan atau performance setiap individu, dalam
melakukan aktivitas sehari hari seperti bekerja, berkarya, berkreasi dan melakukan
hal-hal yang produktif serta bermanfaat.
Kesehatan, pendidikan dan pendapatan setiap individu merupakan tiga faktor utama
yang sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu setiap
individu berhak dan harus selalu menjaga kesehatan, yang merupakan modal utama
agar dapat hidup produktif, bahagia dan sejahtera.
Di dalam era globalisasi sekarang dimana terjadi perubahan gaya hidup dan pola
makan, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda. Di satu pihak masalah kurang
gizi yaitu: gizi buruk, anemia, Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) dan Kurang
Vitamin A (KVA) masih merupakan kendala yang harus ditanggulangi, namun
masalah gizi lebih cenderung meningkat terutama di kota-kota besar. Hasil survey
Indeks Massa Tubuh (IMT) tahun 1995 – 1997 di 27 ibukota propinsi menunjukkan
bahwa prevalensi gizi lebih mencapai 6,8% pada laki-laki dewasa dan 13,5% pada
perempuan dewasa. Sedangkan Monica (1994) menunjukkan bahwa hipertensi
didapati pada 19,9% usia lanjut (usila) yang gemuk dan 29,8% pada usila dengan
obesitas.
Kegemukan merupakan salah satu risiko terjadinya penyakit kardio-vaskuler. Dari
hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1972, 1986 dan 1992
diketahui bahwa penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan salah satu dari
penyakit degeneratif yang sekarang sudah menduduki tempat nomor satu penyebab
kematian di Indonesia. Dari berbagai penelitian menunjukkan adanya hubungan
antara dislipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, obesitas dengan penyakit jantung
koroner.
Disampaikan pada Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,
Sabtu, 15 Februari, 2004 di Kampus UI Depok.



TUBUH SEHAT IDEAL
Tubuh sehat ideal secara fisik dapat dilihat dan dinilai dari penampilan luar.
Penilaian setiap orang tentunya berbeda, antara orang awam dengan orang yang
mempunyai latar belakang medis sangat berbeda. Namun secara umum orang
biasanya menilai tubuh sehat ideal, dilihat dari postur tubuh, sikap dan tutur kata
serta interaksi orang tersebut dengan orang lain. Namun pengertian tubuh sehat
ideal dari segi kesehatan mencakup hal yang lebih luas, yang tidak cukup hanya
penilaian secara lahiriah, tetapi memerlukan pemeriksaan medis meliputi
pemeriksaan antropometri, fisiologi, biokimia dan patologi anatomi. Bila mengacu
dari definisi WHO diatas, untuk menyatakan seseorang mempunyai tubuh sehat
ideal, memerlukan juga penilaian secara psikologi dan psikiatri, apakah orang
tersebut mengalami kelainan kepribadian dan penyimpangan perilaku. Meskipun
secara fisik orang tersebut sehat, namun bila ada kelainan jiwa yang dapat
mengganggu kehidupan orang dilingkungannya, orang tersebut tidak sehat.
Postur tubuh ideal :
Postur tubuh ideal dinilai dari pengukuran antropometri untuk menilai apakah
komponen tubuh tersebut sesuai dengan standard normal atau ideal. Pengukuran
antropometri yang paling sering digunakan adalah rasio antara berat badan (kg) dan
tinggi badan (m) kuadrat, yang disebut Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai berikut :
BB (kg)
IMT = --------------
TB x TB (m)
Status Gizi Wanita Laki-laki
Normal 17 -23 18 –25
Kegemukan 23 – 27 25 - 27
Obesitas > 27 > 27
BB = Berat Badan, TB = Tinggi Badan
Contoh: wanita dengan TB = 161 cm, BB = 58 kg
58
IMT = ---------------- = 22,37 (normal)
1,61 x 1,61
IMT yang normal antara 18 – 25. Seorang dikatakan kurus bila IMT nya < 18 dan
gemuk bila IMT nya > 25. Bila IMT > 30 orang tersebut menderita obesitas dan
perlu diwaspadai karena biasanya orang tesebut juga menderita penyakit
degeneratif seperti Diabetes Melitus, hipertensi, hiperkolesterol dan kelainan
metabolisme lain yang memerlukan pemeriksaan lanjut baik klinis atau laboratorium
Untuk mengetahui Berat Badan ideal dapat menggunakan rumus Brocca sebagai
berikut : BB ideal = (TB – 100) – 10% (TB – 100)
Disampaikan pada Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,
Sabtu, 15 Februari, 2004 di Kampus UI Depok.




Batas ambang yang diperbolehkan adalah + 10%. Bila > 10% sudah
kegemukan dan bila diatas 20% sudah terjadi obesitas.

Contoh: wanita dengan TB = 161 cm, BB = 58 kg
BB ideal = (161 – 100) – 10% (161 – 100)
= 61 – 6,1 = 54,9 (55 kg)
BB 58 kg masih dalam batas > 10%.
Pada anak-anak pengukuran berat badan sebaiknya dilakukan setiap bulan untuk
pemantauan pertumbuhan apakah normal sesuai dengan pita hijau yang ada dalam
KMS (Kartu Menuju Sehat). Pengukuran tinggi badan secara berkala pada anakanak
juga dianjurkan dilakukan setiap 6 bulan, untuk memantau apakah status gizi
anak tersebut normal. Disamping itu untuk menilai apakah anak tersebut stunting
(cebol), dengan membandingkan Z Score (WHO-NCHS). Pertumbuhan anak wanita
sampai 18 tahun dan laki-laki sampai 21 tahun. Menurut NCHS Hyattsville,
Maryland 1979, anak wanita usia 18 tahun tinggi badan pada 75 percentile adalah
170 cm dan berat badan pada 70 percentile adalah 62,5 kg Sedangkan anak lakilaki
usia 18 tahun tinggi badan 75 percentile adalah 180 cm dan berat badan70
percentile adalah 75 kg.
Pengukuran lain yang dapat dilakukan untuk menilai apakah seseorang tersebut
kurus menderita kurang gizi, normal atau gemuk, dengan mengukur Lingkar lengan
kiri atas (Lila). Biasanya dilakukan pada wanita usia 15 – 45 tahun. Bila Lila < 23,5
cm, wanita tersebut menderita Kurang Energi Kronis (KEK).
Pengukuran antropometri lain yang sering digunakan adalah mengukur rasio Lingkar
perut dan Lingkar Pinggang (RLPP). Pada wanita RLPP yang disarankan < 0,8
sedangkan pada laki-laki < 1. Penilaian RLPP ini cukup penting karena untuk
mengetahui risiko menderita penyakit jantung. Seseorang dengan RLPP > 0,8 pada
wanita dan > 1 pada laki-laki mempunyai risiko menderita penyakit jantung lebih
besar dari yang RLPP nya dibawah ambang batas.
Untuk individu tertentu pengukuran diatas, belum dapat menggambarkan postur
tubuh yang ideal, dan memerlukan pengukuran lain yang lebih spesifik. Pada atlet
postur tubuh yang ideal berbeda, antara setiap jenis cabang olah raga. Misalnya
postur tubuh yang ideal bagi atlet petinju atau binaraga, sangat berbeda pada atlet
senam atau renang atau bila dibandingkan dengan orang biasa. Untuk kondisi ini
selain pengukuran IMT, dilakukan pula pengukuran tebal lemak (Skin fold), untuk
menilai apakah massa tubuh yang besar pada atlet tersebut terdiri dari otot atau
lemak. Sejogyanya atlet tinju, binaraga membutuhkan otot dan tulang yang kuat
untuk berlatih atau bertanding. Berbeda pada atlet senam atau renang, yang
membutuhkan massa tubuh yang tidak terlalu besar, tetapi tetap membutuhkan otot
dan tulang yang kuat dan lentur.

Sehat fisik /jasmani :
Untuk berada dalam kondisi Tubuh Sehat Ideal selain postur tubuh yang ideal juga
harus dilengkapi dengan keadaan tubuh yang sehat fisik atau jasmani. Untuk
mewujudkan hal tersebut, diperlukan zat gizi yang berasal dari konsumsi makanan
sehari-hari. Zat gizi yang diperlukan oleh tubuh terdiri dari Hidrat-arang, protein,
Disampaikan pada Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,
Sabtu, 15 Februari, 2004 di Kampus UI Depok.

lemak, vitamin, mineral, air dan serat. Hidrat-arang, protein dan lemak disebut zat
gizi makro dan vitamin serta mineral disebut sebagai zat gizi mikro. Kebutuhan zat
gizi sehari tergantung dari umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan/aktivitas, suhu
linggkungan dan kondisi tertentu. Misalnya pada ibu hamil/meneteki atau sedang
sakit, membutuhkan zat gizi lebih banyak. Triguna makanan adalah sebagai 1)
sumber zat tenaga atau energi, 2) sumber zat pembangun dan 3) sumber zat
pengatur. Hidrat-arang, lemak dan protein merupakan komponen utama sebagai
sumber energi yang dibutuhkan untuk aktivitas, sedangkan protein dibutuhkan
sebagai sumber zat pembangun yaitu untuk pembentukan sel-sel tubuh. Dan vitamin
mineral sibutuhkan sebagai sumber zat pengatur yang diperlukan sebagai enzym,
co-enzym atau hormon untuk membantu proses metabolisme dalam tubuh.
Kebutuhan energi untuk laki-laki dewasa berkisar antara 1.900 – 2.700 Kkal/hari,
sedangkan pada wanita antara 1.700 – 2.100 Kkal./hari.
Widya Karya Pangan dan Gizi VI tahun 1998, menetapkan AKG bagi orang dewasa
secara nasional berdasarkan kebutuhan energi/kalori dari protein, sebagai berikut:
Indikator Tingkat Konsumsi Tingkat Persediaan
Energi 2.150 K Kalori 2.500 K Kalori
Protein 46,2 gram 55 gram
(9 gram protein ikan, 6 gram protein hewani lain dan 40 gram protein nabati)
AKG diatas bila kita jabarkan menurut takaran konsumsi makanan sehari pada
orang dewasa umur 20-59 tahun, yaitu: nasi/pengganti 4-5 piring, lauk hewani 3-4
potong, lauk nabati 2-4 potong, sayuran 1 ½ - 2 mangkok dan buah-buahan 2-3
potong. Dengan catatan dalam keadaan berat badan ideal.
Ketidak seimbangan antara asupan makanan dan penggunaan zat gizi yang
terkandung untuk keperluan metabolisme tubuh akan mengganggu fungsi
metabolisme tersebut. Kekurangan zat gizi akan menyebabkan status gizi kurang
atau gizi buruk. Sebaliknya kelebihan zat gizi akan menyebabkan status gizi lebih,
yang ditandai dengan kegemukan atau obesitas. Kekurangan atau kelebihan zat gizi
pada seseorang dapat terjadi secara spesifik sesuai pola makan orang tersebut,
yang dapat menimbulkan penyakit tertentu, tergantung zat gizi apa yang
kurang/lebih dikonsumsi. Misalnya kekurangan zat besi (Fe), dapat menimbulkan
anemia defisiensi besi, karena kurangnya hemoglobin yang tertentu. Pola makan
yang cenderung tinggi kalori, protein dan lemak akan menyebabkan tingginya kadar
glukosa, lemak, kolesterol dan asam urat dalam darah, yang dapat mempengaruhi
sistim kardio-vaskuler.


OBESITAS DAN PENYAKIT KARDIO-VASCULER
Penderita obesitas yaitu orang yang mempunyai berat badan sangat berlebihan,
secara umum dapat didiagnosa hanya dengan melihat secara fisik. Namun perlu
diwaspadai bahwa masalah obesitas tidak hanya sekedar mempengaruhi
penampilan seseorang. Seperti dikatakan diatas masalah obesitas biasanya juga
disertai masalah kesehatan lain seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner
dan hipertensi, kanker, penyakit ginjal, dan penyakit hati yang dapat menyebabkan
kematian.
Disampaikan pada Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,
Sabtu, 15 Februari, 2004 di Kampus UI Depok.

Kegemukan atau obesitas terjadi karena konsumsi makanan yang melebihi
kebutuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) perhari. Bila kelebihan ini terjadi dalam
jangka waktu lama, dan tidak diimbangi dengan aktivitas yang cukup untuk
membakar kelebihan energi, lambat laun kelebihan energi tersebut akan diubah
menjadi lemak dan ditimbun didalam sel lemak dibawah kulit. Akibatnya orang
tersebut akan menjadi gemuk. Pada awalnya ditandai dengan peningkatan berat
badan, Bilamana penimbunan makin banyak, terjadi perubahan anatomis. Pada
wanita penumpukan jaringan lemak, biasanya berada di sekitar pinggul, paha,
lengan, pinggung dan perut. Baru meluas keseluruh tubuh sampai kemuka.
Sedangkan pada laki-laki, penumpukan jaringan lemak umumnya terjadi di bagian
perut.
Masalah gizi Klinis merupakan masalah gizi yang erat hubungannya dengan
penyakit dan penanganannya memerlukan tindakan yang komprehensif. Sehingga
hipertensi yang merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit
kardiovaskuler, perlu dicegah dan diobati dengan merubah pola makan menjadi pola
makan sehat yang berpedoman pada aneka ragam makanan yang memenuhi gizi
seimbang.
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi batas
normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Berbagai faktor
dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%) penyebab
hipertensi tidak diketahui (hipertensi essential). Penyebab tekanan darah meningkat
adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari
pembuluh darah tepi dan peningkatan volume aliran darah.
Faktor gizi yang sangat berhubungan dengan terjadinya hipertensi melalui beberapa
mekanisme. Aterosklerosis merupakan penyebab utama terjadinya hipertensi yang
berhubungan dengan diet seseorang, walaupun faktor usia juga berperan, karena
pada usia lanjut (usila) pembuluh darah cenderung menjadi kaku dan elastisitasnya
berkurang. Pembuluh yang mengalami sklerosis (aterosklerosis), resistensi dinding
pembuluh darah tersebut akan meningkat. Hal ini akan memicu jantung untuk
meningkatkan denyutnya agar aliran darah dapat mencapai seluruh bagian tubuh.
Menurut Maria C. Linder, Ph.D dari California State University, Fullerton, CA, masih
menjadi perdebatan kontroversi tentang pengaruh faktor diet dan cara hidup
terhadap terjadinya aterosklerosis. Namun dari beberapa kecenderungan
menyatakan bahwa: 1) terjadinya plak (plaque) aterosklerosis merupakan suatu
respon dari cedera pada dinding arteri terhadap kerusakan yang dibentuk oleh
lapisan epitel; 2) serat makanan, Mg dan beberapa mikronutrien seperti Cr, Cu
mungkin penting dalam pencegahan jangka panjang atau memperlambat
aterosklerosis. Selain itu konsumsi tinggi kolesterol dan lemak yang memicu
terjadinya aterosklerosis dapat berikut ini.
Aterosklerosis terjadi bila sebagian besar permukaan bagian dalam arteri besar
membentuk plaqueHasil pengamatan epidemiologi yang membandingkan populasi
atau sub populasi di beberapa negara, menunjukkan bahwa banyak faktor cara
hidup dan makanan yang menyebabkan risiko menjadi lebih besar untuk menderita
penyakit kardiovaskuler.
Disampaikan pada Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,
Sabtu, 15 Februari, 2004 di Kampus UI Depok.

Tabel berikut ini memperlihatkan faktor risiko penyebab aterosklerosis, yaitu:
Faktor Risiko Dalam Aterosklerosis
Primer :
•Merokok (1 pak sehari)
•Tekanan darah (diastolik _ 90 m Hg, sistolik > 105 mm Hg)
•Peningkatan kolesterol plasma (> 240-250 mg/dl)
Sekunder :
•Peningkatan trigliserida plasma
•Obesitas
•Diabetes
•Stress kronis
•Pil KB
•Vasektomi
Sumber: Informasi dari Naito (1980) dan Connor (1980)
Merokok, tekanan darah tinggi dan peningkatan kadar kolesterol plasma/serum
adalah faktor risiko utama terjadinya asteroklerosis, sedangkan penyebab sekunder
adalah stress, kurang gerak, peningkatan trigliserida plasma. Rasio kolesterol HDL :
LDL berbanding terbalik dengan terjadinya asteroklerosis dan ini lebih berarti
daripada hubungan dengan total kolesterol serum LDL yang berlebihan memicu
terjadinya asteroklerosis pada dinding pembuluh darah. Selain konsumsi lemak yang
berlebih, kekurangan konsumsi zat gizi mikro (vitamin dan mineral) sering
dihubungkan pula dengan terjadinya ateroklerosis, antara vitamin C, vitamin E dan
B6 yang meningkatkan kadar homosistein. Tingginya konsumsi vitamin D
merupakan faktor terjadinya asteroklerosis dimana terjadi deposit kalsium yang
menyebabkan rusaknya jaringan elastis sel dinding pembuluh darah.
Berikut ini kami tampilkan kadar lemak darah, kolesterol dan trigliserida normal,
sebagai berikut :

PENUTUP
Guna mencapai Tubuh Sehat Ideal, sejogyanya dimulai sedini mungkin sejak janin
dalam kandungan. Oleh karena itu ibu hamil harus cukup gizi serta menjaga
kesehatannya, agar melahirkan bayi yang sehat.
Yang lebih penting adalah pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak
selanjutnya sampai anak dewasa, agar mencapai tinggi badan dan berat badan
ideal, sehat jasmani dan rohani, menuju sumber daya manusia yang berkualitas.
Total kolesterol = 200 mg/dl
LDL kolesterol = 130 mg/dl
HDL kolesterol = 35 mg/dl
Trigliserida = 250 mg/l
Disampaikan pada Seminar Kesehatan Obesitas, Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI,
Sabtu, 15 Februari, 2004 di Kampus UI Depok.

Masa pra-usila dan usila, adalah masa kritis untuk terjadinya obesitas dengan
berbagai komplikasi penyakit degeneratif. Biasanya terjadi karena perubahan gaya
hidup menjadi lebih santai, kurang aktivitas dan cenderung makan berlebih
mengandung tinggi kalori, protein dan lemak.
Oleh karena itu, upaya untuk mencegah meningkatnya prevalens penyakit kardiovaskuler,
dapat dimulai dengan mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat

Saturday, December 6, 2008

TRANSFUSI DARAH





A. Definisi
Penggantian darah atau tranfusi darah adalah suatu pemberian darah lengkap atau komponen darah seperti plasma, sel darah merah kemasan atau trombosit melalui IV. Meskipun tranfusi darah penting untuk mengembalikan homeostasis, tranfusi darah dapat membahayakan. Banyak komplikasi dapat ditimbulkan oleh terapi komponen darah, contohnya reaksi hemolitik akut yang kemungkinan mematikan, penularan penyakit infeksi dan reaksi demam. Kebanyakan reaksi tranfusi yang mengancam hidup diakibatkan oleh identifikasi pasien yang tidak benar atau pembuatan label darah atau komponen darah yang tidak akurat, menyebabkan pemberian darah yang inkompatibel. Pemantauan pasien yang menerima darah dan komponen darah dan pemberian produk-produk ini adalah tanggung jawab keperawatan. Perawat bertanggung jawab untuk mengkaji sebelum dan selama tranfusi yang dilakukan. Apabila klien sudah terpasang selang IV, perawat harus mengkaji tempat insersi untuk melihat tanda infeksi atau infilrasi. Perawat harus memastikan bahwa kateter yang dipakai klien menggunakan kateter ukuran besar (18-19). Komponen darah harus diberikan oleh personel yang kompeten, berpengalaman dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

B. Tujuan
1. Meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma atau perdarahan
2. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin pada klien yang mengalami anemia berat
3. Memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi pengganti (misal : faktor pembekuan plasma untuk membantu mengontrol perdarahan pada klien yang menderita hemofilia)

C. Golongan dan Tipe Darah
Darah tersusun dari beberapa unsur yang mempunyai peran utama dalam terapi tranfusi darah. Komponen ini meliputi antigen, antibody, tipe Rh, dan antigen HLA. Antigen adalah zat yang mendatangkan respon imun spesifik bila terjadi kontak dengan benda asing. Sistem imun tubuh berespon dengan memproduksi antibody untuk memusnahkan penyerang. Reaksi Antigen (Ag) dan Antibodi (AB) ini diperlihatkan dengan aglutinasi atau hemolisis. Antibodi dalam serum berespon terhadap antigen penyerang dengan mengelompokkan sel-sel darah merah bersama-sama dan menjadikan mereka tidak efektif atau memusnahkan sel darah merah. Sistem penggolongan darah didasarkan pada reaksi Ag-AB yang menentukan kompabilitas darah.
Golongan darah yang paling penting untuk tranfusi darah ialah sistem ABO, yang meliputi golongan berikut: A, B, O, AB. Penetapan penggolongan darah didasarkan pada ada tidaknya antigen sel darah merah A dan B. Individu-individu dengan golongan darah A mempunyai antigen A yang terdapat pada sel darah merah; individu dengan golongan darah B mempunyai antigen B, dan individu dengan golongan darah O tidak mempunyai kedua antigen tersebut.
Aglutinin, atau antibody yang bekerja melawan antigen A dan B, disebut agglutinin anti A dan agglutinin anti B. Aglutinin ini terjadi secara alami. Individu dengan golongan darah A memproduksi aglutinin anti B di dalam plasmanya secara alami. Begitu juga dengan individu dengan golongan darah B, akan memproduksi agglutinin anti A di dalam plasma secara alami. Individu dengan golongan darah O secara alami memproduksi kedua aglutinin tersebut, inilah sebabnya individu dengan golongan darah O disebut sebagai donor universal. Individu golongan AB juga menghasilkan antibodi AB, oleh karena itu individu dengan golongan AB disebut resipien universal. Bila darah yang ditranfusikan tidak sesuai, maka akan timbul reaksi tranfusi.
Setelah system ABO, tipe Rh merupakan kelompok antigen sel darah merah dengan kepentingan klinis besar. Tidak seperti anti-A dan anti-B, yang terjadi pada individu normal dan tidak diimunisasi, antibody Rh tidak terbentuk tanpa stimulasi imunisasi. Individu dengan antibodi D disebut Rh positif, sedangkan yang tidak memiliki antibodi D disebut Rh negatif, tidak menjadi soal apakah ada antibodi Rh lainnya. Antibody D dapat menyebabkan destruksi sel darah merah, seperti dalam kasus reaksi tranfusi hemolitik lambat.
Penggolongan darah mengidentifikasi penggolonga ABO dan Rh dalam donor darah. Pencocoksilangan (crossmatching) kemudian menentukan kompatibilitas ABO dan Rh adalah penting dalam pemberian terapi tranfusi darah.
System HLA merupakan komponen berikutnya untuk dipertimbangkan dalam pemberian tranfusi. System HLA didasarkan pada antigen yang terdapat dalam leukosit, trombosit dan sel-sel lainnya. Penggolongan dan pencocoksilangan HLA kadang-kadang diperlukan sebelum tranfusi trombosit diulangi.





D. Indikasi
1. Pasien dengan kehilangan darah dalam jumlah besar (operasi besar, perdarahan postpartum, kecelakaan, luka bakar hebat, penyakit kekurangan kadar Hb atau penyakit kelainan darah)
2. Pasien dengan syok hemoragi

E. Macam-macam Komponen Darah
 Darah lengkap (whole blood)
Tranfusi darah lengkap hanya untuk mengatasi perdarahan akut dan masif, meningkatkan dan mempertahankan proses pembekuan. Darah lengkap diberikan dengan golongan ABO dan Rh yang diketahui. Infuskan selama 2 sampai 3 jam, maksimum 4 jam/unit. Dosis pada pediatrik rata-rata 20 ml/kg, diikuti dengan volume yang diperlukan untuk stabilisasi. Bisanya tersedia dalam volume 400-500 ml dengan masa hidup 21 hari. Hindari memberikan tranfusi saat klien tidak dapat menoleransi masalah sirkulasi. Hangatkan darah jika akan diberikan dalam jumlah besar.
Indikasi:
1. Penggantian volume pada pasien dengan syok hemoragi, trauma atau luka bakar
2. Klien dengan perdarahan masif dan telah kehilangan lebih dari 25 persen dari volume darah total
 Packed Red Blood cells (RBCs)
Komponen ini mengandung sel darah merah, SDP, dan trombosit karena sebagian plasma telah dihilangkan (80 %). Tersedia volume 250 ml. Diberikan selama 2 sampai 4 jam, dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui. Hindari menggunakan komponen ini untuk anemia yang mendapat terapi nutrisi dan obat. Masa hidup komponen ini 21 hari.
Indikasi :
1. Pasien dengan kadar Hb rendah
2. Pasien anemia karena kehilangan darah saat pembedahan
3. Pasien dengan massa sel darah merah rendah
 White Blood Cells (WBC atau leukosit)
Komponen ini terdiri dari darah lengkap dengan isi seperti RBCs, plasma dihilangkan 80 % , biasanya tersedia dalam volume 150 ml. Dalam pemberian perlu diketahui golongan darah ABO dan sistem Rh. Apabila diresepkan berikan dipenhidramin. Berikan antipiretik, karena komponen ini bisa menyebabkan demam dan dingin. Untuk pencegahan infeksi, berikan tranfusi dan disambung dengan antibiotik.
Indikasi :
1. Pasien sepsis yang tidak berespon dengan antibiotik (khususnya untuk pasien dengan kultur darah positif, demam persisten /38,3° C dan granulositopenia)
 Leukosit –poor RBCs
Komponen ini sama dengan RBCs, tapi leukosit dihilangkan sampai 95 %, digunakan bila kelebihan plasma dan antibody tidak dibutuhkan. Komponen ini tersedia dalam volume 200 ml, waktu pemberian 1 ½ sampai 4 jam.
Indikasi:
1. Pasien dengan penekanan system imun (imunokompromise)
 Platelet/trombosit
Komponen ini biasanya digunakan untuk mengobati kelainan perdarahan atau jumlah trombosit yang rendah. Volume bervariasi biasanya 35-50 ml/unit, untuk pemberian biasanya memerlukan beberapa kantong. Komponen ini diberikan secara cepat. Hindari pemberian trombosit jika klien sedang demam. Klien dengan riwayat reaksi tranfusi trombosit, berikan premedikasi antipiretik dan antihistamin. Shelf life umumnya 6 sampai 72 jam tergantung pada kebijakan pusat di mana trombosit tersebut didapatkan. Periksa hitung trombosit pada 1 dan 24 jam setelah pemberian.


Indikasi:
1. Pasien dengan trombositopenia (karena penurunan trombosit, peningkatan pemecahan trombosit
2. Pasien dengan leukemia dan marrow aplasia
 Fresh Frozen Plasma (FFP)
Komponen ini digunakan untuk memperbaiki dan menjaga volume akibat kehilangan darah akut. Komponen ini mengandung semua faktor pembekuan darah (factor V, VIII, dan IX). Pemberian dilakukan secara cepat, pada pemberian FFP dalam jumlah besar diperlukan koreksi adanya hypokalsemia, karena asam sitrat dalam FFP mengikat kalsium. Shelf life 12 bulan jika dibekukan dan 6 jam jika sudah mencair. Perlu dilakukan pencocokan golongan darah ABO dan system Rh.
Indikasi:
1.Pencegahan perdarahan postoperasi dan syok
2. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi yang tidak bisa ditentukan
3. Klien dengan penyakit hati dan mengalami defisiensi faktor pembekuan.
 Albumin 5 % dan albumin 25 %
Komponen ini terdiri dari plasma protein, digunakan sebagai ekspander darah dan pengganti protein. Komponen ini dapat diberikan melalui piggybag. Volume yang diberikan bervariasi tergantung kebutuhan pasien. Hindarkan untuk mencampur albumin dengan protein hydrolysate dan larutan alkohol.
Indikasi :
1.Pasien yang mengalami syok karena luka bakar, trauma, pembedahan atau infeksi
2. Terapi hyponatremi

F. Pertimbangan Pediatrik dan Gerontik
 Pediatrik
1. Pada anak-anak, 50 ml darah pertama harus diinfuskan lebih dari 30 menit. Bila tidak ada reaksi terjadi, kecepatan aliran ditingkatkan dengan sesuai untuk menginfuskan sisa 275 ml lebih dari periode 2 jam
2. Darah untuk bayi baru lahir dicocok silangkan dengan serum ibu karena mungkin mempunyai antibody lebih dari bayi tersebut dan memungkinkan identifikasi yang lebih mudah tentang inkompabilitas
3. Dosis untuk anak-anak bervariasi menurut umur dan berat badan (hitung dosis dalam milliliter per kilogram berat badan)
4. Tranfusi sel darah merah memerlukan waktu infus yang ketat (untuk mempermudah deteksi dini reaksi hemolitik yang mungkin terjadi)
5. Penggunaan penghangat darah mencegah hipotermi yang menimbulkan disritmia
6. Gunakan pompa infus elektronik untuk memantau dan mengontrol akurasi kecepatan tetesan
7. Gunakan vena umbilikalis pada bayi baru lahir sebagai tempat akses vena
8. Tranfusi pada bayi baru lahir hanya boleh dilakukan oleh perawat atau dokter yang kompeten dan berpengalaman (prosedur ini memerlukan ketrampilan tingkat tinggi)
9. Tinjau kembali riwayat tranfusi anak
 Gerontik
1. Riwayat sebelumnya (anemia dengan gagal sumsum tulang, anemia yang berhubungan dengan keganasan, perdarahan gastrointestinal kronik, gagal ginjal kronik)
2. Terdapat kemungkinan bahaya pada jantung, ginjal, dan sistem pernafasan (atur kecepatan aliran jika klien tidak mampu menoleransi aliran yang telah ditetapkan), sehingga waktu tranfusi lebih lambat
3. Defisit sensori dapat terjadi (konsultasikan dengan rekam medik atau anggota keluarga terhadap reaksi tranfusi darah sebelumnya)
4. Premedikasi dapat menyebabkan mengantuk
5. Integritas vena mungkin melemah, pastikan kepatenan kateter atau jarum sebelum melakukan tranfusi

G. Efek tranfusi
 Alergi
Penyebab:
1. Alergen di dalam darah yang didonorkan
2. Darah hipersensitif terhadap obat tertentu
Gejala:
Anaphilaksis (dingin, bengkak pada wajah, edema laring, pruritus, urtikaria, wheezing), demam, nausea dan vomit, dyspnea, nyeri dada, cardiac arrest, kolaps sirkulasi
Intervensi:
1. Lambatkan atau hentikan tranfusi
2. Berikkan normal saline
3. Monitor vital sign dan lakukan RJP jika diperlukan
4. Berikan oksigenasi jika diperlukan
5. Monitor reaksi anafilaksis dan jika diindikasikan berikan epineprin dan kortikosteroid
6. Apabila diresepkan, sebelum pemberian tranfusi berikan diphenhidramin
 Anafilaksis
Penyebab:
Pemberian protein IgA ke resipien penderita defisiensi IgA yang telah membentuk antibodi IgA
Gejala:
Tidak ada demam, syok, distress pernafasan (mengi, sianosis), mual, hipotensi, kram abdomen, terjadi dengan cepat setelah pemberian hanya beberapa milliliter darah atau plasma.
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
2. Lanjutkan pemberian infus normal saline
3. Beritahu dokter dan bank darah
4. Ukur tanda vital tiap 15 menit
5. Berikan ephineprine jika diprogramkan
6. Lakukan resusitasi jantung paru (RJP) jika diperlukan
Pencegahan:
Tranfusikan sel darah merah (SDM) yang sudah diproses dengan memisahkan plasma dari SDM tersebut, gunakan darah dari donor yang menderita defesiensi IgA.
 Sepsis
Penyebab:
Komponen darah yang terkontaminasi oleh bakteri atau endotoksin
Gejala:
Menggigil, demam, muntah, diare, penurunan tekanan darah yang mencolok, syok
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
2. Ambil kultur darah pasien
3. Pantau tanda vital setiap 15 menit
4. Berikan antibiotik, cairan IV, vasoreseptor dan steroid sesuai program
Pencegahan:
Jaga darah sejak dari donasi sampai pemberian
 Urtikaria
Penyebab:
Alergi terhadap produk yang dapat larut dalam plasma donor
Gejala:
Eritema lokal, gatal dan berbintik-bintik, biasanya tanpa demam
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
2. Ukur vital sign tiap 15 menit
3. Berikan antihistamin sesuai program
4. Tranfusi bisa dimulai lagi jika demam dan gejala pulmonal tidak ada lagi
Pencegahan: Berikan antihistamin sebelum dan selama pemberian tranfusi
 Kelebihan sirkulasi
Penyebab:
Volume darah atau komponen darah yang berlebihan atau diberikan terlalu cepat
Gejala:
Dyspnea, dada seperti tertekan, batuk kering, gelisah, sakit kepala hebat, nadi, tekanan darah dan pernafasan meningkat, tekanan vena sentral dan vena jugularis meningkat

Intervensi:
1. Tinggikan kepala klien
2. Monitor vital sign
3. Perlambat atau hentikan aliran tranfusi sesuai program
4. Berikan morfin, diuretik, dan oksigen sesuai program
Pencegahan:
Kecepatan pemberian darah atau komponen darah disesuaikan dengan kondisi klien, berikan komponen SDM bukan darah lengkap, apabila diprogramkan minimalkan pemberian normal saline yang dipergunakan untuk menjaga kepatenan IV
 Hemolitik
Penyebab:
Antibody dalam plasma resipien bereaksi dengan antigen dalam SDM donor, resipien menjadi tersensitisasi terhadap antigen SDM asing yang bukan dalam system ABO
Gejala:
Cemas, nadi, pernafasan dan suhu meningkat, tekanan darah menurun, dyspnea, mual dan muntah, menggigil, hemoglobinemia, hemoglobinuria, perdarahan abnormal, oliguria, nyeri punggung, syok, ikterus ringan. Hemolitik akut terjadi bila sedikitnya 10-15 ml darah yang tidak kompatibel telah diinfuskan, sedangkan reaksi hemolitik lambat dapat terjadi 2 hari atau lebih setelah tranfusi.
Intervensi:
1. Monitor tekanan darah dan pantau adanya syok
2. Hentikan tranfusi
3. Lanjutkan infus normal saline
4. Pantau keluaran urine untuk melihat adanya oliguria
5. Ambil sample darah dan urine
6. Untuk hemolitik lambat, karena terjadi setelah tranfusi, pantau pemeriksaan darah untuk anemia yang berlanjut
Pencegahan:
Identifikasi klien dengan teliti saat sample darah diambil untuk ditetapkan golongannya dan saat darah diberikan untuk tranfusi (penyebab paling sering karena salah mengidentifikasi).
 Demam Non-Hemolitik
Penyebab:
Antibody anti-HLA resipien bereaksi dengan antigen leukosit dan trombosit yang ditranfusikan.
Gejala:
Demam, flushing, menggigil, tidak ada hemolisis SDM, nyeri lumbal, malaise, sakit kepala
Intervensi:1. Hentikan tranfusi
2. Lanjutkan pemberian normal saline
3. Berikan antipiretik sesuai program
4. Pantau suhu tiap 4 jam
Pencegahan:
Gunakan darah yang mengandung sedikit leukosit (sudah difiltrasi)
 Hiperkalemia
Penyebab:
Penyimpanan darah yang lama melepaskan kalium ke dalam plasma sel
Gejala:
Serangan dalam beberapa menit, EKG berubah, gelombang T meninggi dan QRS melebar, kelemahan ekstremitas, nyeri abdominal
 Hipokalemia
Penyebab:
Berhubungan dengan alkalosis metabolik yang diindikasi oleh sitrat tetapi dapat dipengaruhi oleh alkalosis respiratorik
Gejala:
Serangan bertahap, EKG berubah, gelombang T mendatar, segmen ST depresi, poliuria, kelemahan otot, bising usus menurun
 Hipotermia
Penyebab:
Pemberian komponen darah yang dingin dengan cepat atau bila darah dingin diberikan melalui kateter vena sentral.
Gejala:
Menggigil, hipotensi, aritmia jantung, henti jantung/cardiac arrest
Intervensi:
1. Hentikan tranfusi
2. Hangatkan pasien dengan selimut
3. Ciptakan lingkungan yang hangat untuk pasien
4. Hangatkan darah sebelum ditranfusikan
5. Periksa EKG

H. Infeksi yang ditularkan melalui tranfusi
 AIDS
Penyebab:
Darah donor HIV seropositif
Gejala:
Demam, keringat malam, letih, berat badan menurun, adenopati, lesi kulit seropositif terhadap virus HIV
 Kontaminasi bakteri
Penyebab:
Kontaminasi pada saat penyumbangan atau persiapan, bakteri endotoksin melepaskan endotoksin
Gejala:
Serangan dalam 2 jam tranfusi (menggigil, demam, nyeri abdomen, syok, hipotensi yang nyata
 Cytomegalovirus (CMV)
Virus CMV dapat berada pada orang dewasa yang sehat. Pasien-pasien dengan imunosupresi berisiko tinggi tertular CMV
Gejala:
Letih, lemah, adenopati, demam derajat rendah
 Hepatitis
Hepatitis A dan hepatitis B jarang, penyakit hati kronik lebih umum dengan Hepatitis C daripada hepatitis B
Gejala:
Terjadi dalam dalam beberapa minggu sampai bulan setelah tranfusi, mual, muntah, ikterus, malaise, kadar enzim hati tinggi
 GVHD (Graft versus host desease)
Penyebab:
Limfosit donor yang normal bereproduksi di dalam tubuh resipien yang mengalami gangguan kekebalan, limfosit menyerang jaringan resipien karena dianggap sebagai protein asing.
Gejala:
Demam, ruam kulit, diare, infeksi, gangguan fungsi hati (jaundice, supresi sumsum tulang)
Intervensi:
Berikan metotresat dan kortikosteroid jika diprogramkan
Pencegahan;
Berikan darah yang tidak diradiasi jika diprogramkan, berikan darah yang telah dicuci dengan saline jika diprogramkan

I. Manajemen efek tranfusi
Pedoman untuk mengatasi reaksi tranfusi yang dibuat oleh American Assotiation of Blood Banks adalah:
1. Hentikan tranfusi untuk membatasi jumlah darah yang diinfuskan
2. Beritahu dokter
3. Pertahankan jalur IV tetap terbuka dengan infus normal saline
4. Periksa semua label, formulir, dan identifikasi pasien untuk menentukan apakah pasien menerima darah atau komponen darah yang benar
5. Segera laporkan reaksi tranfusi yang dicurigai pada petugas bank darah
6. Kirimkan sample darah yang diperlukan ke bank darah sesegera mungkin, bersama-sama dengan kantong darah yang telah dihentikan, set pemberian, larutan IV yang diberikan, dan semua formulir dan label yang berhubungan.
7. Kirim sampel lainnya (misal urin)
8. Lengkapi laporan institusi atau formulir “reaksi tranfusi yang dicurigai”
9. Peralatan yang harus disiapkan (obat-obatan seperti: aminophilin, difenhidramin, hidroklorida, dopamine, epinefrin, heparin, hidrokortison, furosemid, asetaminofen, aspirin; set oksigenasi; kit kateter foley; botol kultur darah; cairan IV; selang IV)

J. Hal-hal yang perlu diperhatikan
1. Kondisi pasien sebelum ditranfusi
2. Kecocokan darah yang akan dimasukkan
3. Label darah yang akan dimasukkan
4. Golongan darah klien
5. Periksa warna darah (terjadi gumpalan atau tidak)
6. Homogenitas (darah bercampur semua atau tidak)

WWII Syringe for direct interhuman blood transfusion


K. Persiapan Pasien
1. Jelaskan prosedur dan tujuan tranfusi yang akan dilakukan
2. Jelaskan kemungkinan reaksi tranfusi darah yang keungkinan terjadi dan pentingnya melaporkan reaksi dengan cepat kepada perawat atau dokter
3. Jelaskan kemungkinan reaksi lambat yang mungkin terjadi, anjurkan untuk segera melapor apabila reaksi terjadi
4. Apabila klien sudah dipasang infus, cek apakah set infusnya bisa digunakan untuk pemberian tranfusi
5. Apabila klien belum dipasang infus, lakukan pemasangan dan berikan normal saline terlebih dahulu
6. Pastikan golongan darah pasien sudah teridentifikasi

L. Persiapan Alat
1. Set pemberian darah
2. Kateter besar (18 G atau 19 G)
3. Cairan IV normal saline (NaCl 0,9 %)
4. Set infus darah dengan filter
5. Produk darah yang tepat
6. Sarung tangan sekali pakai
7. Kapas alkohol
8. Plester dan gunting
9. Manset tekanan darah
10. Stetoskope
11. Termometer
12. Format persetujuan pemberian tranfusi yang ditandatangani
13. Bengkok
14. Penghangat darah (jika diperlukan)




M. Prosedur kerja
1. Baca status dan data klien untuk memastikan program tranfusi darah
2. Pastikan bahwa klien telah menandatangani format persertujuan tindakan
3. Cek alat-alat yang akan digunakan
4. Cuci tangan
5. Beri salam dan panggil klien sesuai dengan namanya
6. Perkenalkan nama perawat
7. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada klien
8. Jelaskan tujuan tindakan yang dilakukan
9. Kaji pernah tidaknya klien menerima tranfusi sebelumnya dan catat reaksi yang timbul, apabila ada
10. Minta klien untuk melaporkan apabila menggigil, sakit kepala, gatal-gatal, atau ruam dengan segera
11. Beri kesempatan pada klien untuk bertanya
12. Tanyakan keluhan klien saat ini
13. Jaga privasi klien
14. Dekatkan alat-alat ke sisi tempat tidur klien
15. Periksa tanda vital klien sebelum memulai tranfusi
16. Kenakan sarung tangan sekali pakai
17. Lakukan pemasangan infuse, apabila belum terpasang dengan menggunakan kateter berukuran besar ( 18 atau 19 G), apabila sudah terpasang cek apakah set yang ada bisa digunakan untuk pemberian tranfusi dan cek kepatenan vena
18. Gunakan selang infus yang memiliki filter di dalam selang (apabila selang infus masih menggunakan selang infuse yang kecil, ganti dengan selang infus untuk tranfusi yang ukurannya lebih besar)
19. Gantungkan botol normal saline untuk diberikan setelah pemberian darah selesai
20. Ikuti protokol lembaga dalam mendapatkan produk darah dari bank darah. Minta darah pada saat Anda siap menggunakannya.
21. Bersama seorang perawat lainnya yang telah memiliki lisensi, identifikasi produk darah yang akan dimasukkan (periksa etiket kompabilitas yang menempel pada kantong darah dan informasi pada kantong tersebut; untuk darah lengkap, periksa golongan darah ABO dan tipe Rh yang terdapat pada catatan klien; periksa kembali kesesuaian produk darah yang akan diberikan dengan resep dokter; periksa data kadaluarsa pada kantong darah; inspeksi darah untuk melihat adanya bekuan darah; tanyakan nama klien dan periksa tanda pengenal yang dimiliki klien)
22. Mulai pemberian tranfusi darah (sebelum darah diberikan, berikan dahulu larutan normal saline; mulai berikan tranfusi secara perlahan diawali dengan pengisian filter di dalam selang; atur kecepatan sampai 2 ml/menit untuk 15 menit pertama dan tetaplah bersama klien. Apabila perawat menjumpai adanya reaksi, segera hentikan tranfusi, bilas selang dengan normal saline, laporkan pada dokter dan beritahu bank darah)
23. Monitor tanda vital (ukur setiap 5 menit pada 15 menit pertama, selanjutnya disesuaikan dengan kebijakan lembaga)
24. Observasi klien untuk melihat adanya reaksi tranfusi
25. Pertahankan kecepatan infus yang diprogramkan dengan menggunakanpompa, jika perlu
26. Apabila tranfusi sudah selesai, bilas dengan normal saline
27. Bereskan alat, lepas sarung tangan
28. Cuci tangan
29. Kaji respon klien setelah tranfusi diberikan
30. Berikan reinforceament positif pada klien
31. Buat kontrak untuk pertemuan selanjutnya
32. Observasi timbulnya reaksi yang merugikan secara berkelanjutan
33. Catat pemberian darah atau produk darah yang diberikan dan respon klien terhadap terapi darah pada status kesehatan klien
34. Setelah tranfusi selesai, kembalikan kantong darah serta selang ke bank darah

Friday, December 5, 2008

COLOSTOMY CARE

WHAT YOU SHOULD KNOW
A typical ostomy is an opening through the skin of the abdomen into the intestine (bowel), where stool is formed. The opening may tap into the ileum (an ileostomy) or the colon (a colostomy). The ileum is located at the end of the small intestine; the colon is the last part of the large intestine. In either area, the opening is called a stoma. While you have an ostomy, bowel movements will drain through the stoma and into a pouch on your abdomen. Ostomies can be temporary or permanent, depending on the type of disorder involved.
Care
There are many kinds of pouches for use with an ostomy. With time, you can decide what type works best for you. You will need to empty the pouch 4 to 6 times a day if you have an ileostomy, and 1 or more times a day if you have a colostomy. For both types, you'll need to change the pouch every 4 to 6 days, and clean it if you reuse it. You'll also have to care for the stoma and the skin around it. An Enterostomal (EN-ter-OH-sto-mull) Therapy Nurse (ETN) or your doctor will show you what to do. You may want to join a group that can offer you and your family support and give you information about ostomies. Ask your ETN for the name of a support group in your area or call the United Ostomy Association at 1-800-826-0826.

WHAT YOU SHOULD DO

Living With an Ostomy
 People feel anxious, nervous, or scared when they first begin dealing with an ostomy. They find it unpleasant and sometimes feel they've lost control of their body. Such feelings do improve with time. Talking about them with your doctor, or someone close to you, will help you get past them.
 Learning to live with an ostomy may be difficult for both you and your spouse. Don't try to ignore the problem. Be frank with each other, and try to share your feelings. Together you can find ways to cope with this change in your life.
 If you had a happy sex life before ostomy surgery, it can be the same afterward. Close body contact can't hurt your stoma; but do be sure to empty the pouch before having sex. You may also want to wear a pouch cover.
 After an ileostomy, the intestine has difficulty digesting high fiber foods such as corn, celery, apples, nuts, popcorn, or grapes. Do not eat large amounts of these foods for several weeks after surgery. Ask your doctor to tell you when you can begin eating foods with hulls, peels, or seeds. Eat small amounts at first to see how your intestine digests the fiber.
 Because bowel movements leave the body sooner through an ileostomy, your intestine will not have a chance to absorb certain "long acting" or "sustained release" medications or drugs in hard-capsule form. Tell your doctor and your pharmacist that you have an ileostomy. They can order the kind of medicine that your intestine will handle best.
 You should not use laxatives while you have an ileostomy because your bowel movements will already be soft and semi-liquid. Tell your doctors that you have an ileostomy so that they won't give you laxatives before a test or surgery.
 It is important to drink enough to replace the liquid lost in your bowel movements. Drink 6 to 8 large glasses of water, juices, or other liquids each day. Or, if you are on a fluid limit, follow your doctor's advice.
 Constipation can be a problem if you have a colostomy. Drinking plenty of liquid will help. Also try to include a lot of high-fiber foods in your diet, including cereals, beans, vegetables, and whole-grain breads.
 Try to maintain a healthy diet that includes all five food groups: fruits, vegetables, breads, dairy products, and meat and fish. Remember, however, that if you eat certain foods, such as eggs, cabbage, onions, beer, and some cheeses, you may have unpleasant gas. Do not eat too much or eat too fast. Chew your food very well.
 A woman with an ostomy can have a baby; but be sure to talk to your doctor before you get pregnant. It may be advisable to wait a year or so after surgery so your body has a chance to heal and return to normal.
 Talk to your doctor about an exercise program once you feel better. Exercise makes the heart stronger, lowers blood pressure, improves your mood, and helps keep you healthy. Among the best activities are walking, jogging, bicycling, and swimming. Start slowly and do more as you get stronger. Don't play contact sports unless your doctor says it's OK. If you swim, empty your pouch before getting into the water. You may want to put waterproof tape over the edges of the device that secures the pouch.
 Always carry extra ostomy supplies and pouches with you when traveling. Luggage is sometimes lost, so keep some of your supplies in a carry-on bag. Take enough for the entire trip. You may not be able to find what you need while traveling. Your local ostomy group may be able to give you a list of ostomy doctors in the area you're visiting.
Emptying the Pouch
 Empty the pouch when it is a third to half full. You will probably need to empty the pouch 4 to 6 times a day.
 Sit on the toilet with the pouch hanging between your legs. Or sit on a chair next to the toilet with the pouch opening aimed into the toilet.
 Point the opening of the pouch into the toilet and remove the clamp that keeps the pouch closed. Slide your fingers down the outside of the pouch to squeeze the contents out of the pouch. Clean the inside of the pouch opening with a piece of rolled-up toilet paper.
 After emptying your pouch, you may rinse it out with room-temperature water. To do this, use a rubber ear syringe to squirt water inside the pouch. Tip the pouch to get the water up into the top. Empty it and rinse again, if you like. You may want to rinse the pouch many times to clean it, but you do not need to rinse it each time you empty it.
 If you use a pouch deodorant, put some into the pouch after you've finished rinsing it.
 Put the clamp back onto the pouch to close it. Wash your hands with soap and water.
Skin and Pouch Care
 Ostomy pouches come in many styles: one-piece, two-piece, disposable, reusable, cut-to-fit, and pre-cut, for example. Some people prefer an opaque white or beige pouch to a clear one. Your ETN or doctor can help you decide which type is best for you.
 When you change your pouch, check the stoma and the skin around it. The surface of the stoma is mucous membrane---pink or red and moist-looking. Because it has many small blood vessels, it may bleed when you clean and wipe it. Do not worry about the bleeding unless it fails to stop. The stoma may get smaller during the first weeks after surgery.
 The part of the pouch that sticks to your abdomen is called a skin barrier wafer. The wafer opening for the stoma must fit snugly around it. Use the measuring guide that comes with your ileostomy supplies to check the size of the stoma. As it gets smaller, you will need to reduce the size of the opening you cut in the skin barrier wafer. If the opening is too large, intestinal contents will leak and irritate your skin.
 Irritated skin may also mean that you've left the wafer on too long. If the stoma becomes red or irritated, let your doctor know. It's always important to find out why.
 Cleaning and changing your pouch regularly will prevent unpleasant odors. You may also want to try different pouch deodorants. Change the pouch in the morning, before you've had anything to eat or drink, or at another time of day when the stoma is unlikely to be active. After a while, you'll probably get to know when to expect a bowel movement. If one isn't on the way, you can take off the pouch and bathe or shower before putting on a clean replacement.
 The length of time that the pouch stays tightly secured to your abdomen depends on many things, such as the size and shape of your stoma and the shape of your belly. Large amounts of watery bowel movement will shorten the wearing time. If the pouch stays on for only 1 or 2 days, let your ETN or doctor know.

Changing a One-Piece Disposable Pouch
Keep the following within easy reach:
1. Stoma measuring guide or pattern.
2. Scissors.
3. New pouch.
4. Soft wash cloth.
5. Soap and water.
6. Razor for shaving hair on abdomen.
7. Pouch deodorant (if desired).
8. Plastic bag for your used pouch.
Wash your hands with soap and water. Using the measuring guide or pattern, trace the correct opening onto the skin barrier of the new pouch, then cut out the opening you traced. Take off the paper backing that covers the adhesive on the skin barrier of the new pouch. Lay the pouch near you with the adhesive side up.
Empty the pouch you've been wearing into the toilet. Remove the pouch by pushing down on your abdomen with the fingers of one hand and peeling off the pouch with your other hand. Remove the clamp from the old pouch and save it for use with the new pouch. Put the used pouch into the plastic bag and throw away.
Wash thoroughly around your stoma with mild soap and warm water. Do not use soaps that contain baby oil, cold cream, or perfumes. Rinse and dry your skin with a dry soft cloth. You should not leave any stool or wafer residue on your skin. You may want to shave or clip hairs around your stoma.
Center the pouch opening over your stoma. Press the skin barrier wafer onto your abdomen. Make sure there are no creases or wrinkles in the wafer. Squirt some pouch deodorant into the bottom pouch opening. Move the deodorant around the inside of the pouch with your fingertips. Use a piece of toilet paper to wipe deodorant off the opening. Put on the clamp that you removed from your old pouch.
Changing a Two-Piece Snap-On Disposable Pouch
Keep the following within easy reach:
1. Stoma measuring guide or pattern.
2. Scissors.
3. New pouch.
4. New skin barrier wafer.
5. Soft wash cloth.
6. Soap and water.
7. Razor for shaving hair on abdomen.
8. Pouch deodorant (if desired).
9. Plastic bag for your used pouch.
Wash your hands with soap and water. Using the measuring guide or pattern, trace the correct opening onto the skin barrier wafer, then cut out the opening you traced. Remove the paper backing that covers the wafer's adhesive. Lay the wafer near you with the adhesive side up.
Empty the pouch you've been wearing into the toilet. Remove the pouch and skin barrier wafer from your abdomen. (It's easier to leave the wafer and pouch together and remove both at the same time.) While pushing down on your abdomen with the fingers of one hand, peel off the old wafer and pouch with the other hand. Remove the clamp from the old pouch and save it for use with the new pouch. Put the used pouch into the plastic bag and throw away.
Wash thoroughly around your stoma with mild soap and water. Do not use soaps that contain baby oil, cold cream, or perfumes. Rinse and dry your skin with a dry soft cloth. You should not leave any stool or wafer residue on your skin. You may want to shave or clip hairs around your stoma.
Center the opening of the new skin barrier wafer over your stoma, then press the wafer onto your abdomen. Make sure there are no creases or wrinkles in the wafer. Snap the new pouch onto the wafer. Squirt some pouch deodorant into the opening at the bottom of the pouch. Use your fingertips to move the deodorant around the inside of the pouch. Wipe deodorant off the opening with a piece of toilet paper. Put on the clamp that you removed from your old pouch.


Changing a One-Piece Reusable Pouch
Keep the following within easy reach:
1. New double-faced adhesive disk or appliance cement.
2. Clean reusable pouch.
3. Skin barrier ring or paste.
4. Soft wash cloth.
5. Soap and water.
6. Razor for shaving hair on abdomen.
7. Pouch deodorant if desired.
 Wash your hands with soap and water. Remove the paper backing from one side of the adhesive disk. Center the sticky side of the adhesive disk over the face-plate opening of the new pouch. Press the adhesive disk onto the face plate, making sure there are no wrinkles in the disk. Alternatively, you can put a thin layer of cement on the face plate of the pouch. You can then lay the pouch nearby with the sticky cement or disk side up.
 Remove the clamp from the pouch you've been wearing and save it for use with the next pouch. Empty the pouch you have on into the toilet. Remove the pouch from your abdomen by pushing down on your abdomen with the fingers of one hand while peeling off the used pouch with your other hand. A soft, soapy wash cloth or an adhesive-remover wipe may make it easier to remove the pouch. Put the used pouch aside to be cleaned later.
 Wash thoroughly around your stoma with mild soap and warm water. Do not use soaps that contain baby oil, cold cream, or perfumes. Rinse and dry your skin with a dry soft cloth. You should not leave any stool or adhesive residue on your skin. You may want to shave or clip hairs around your stoma.
 You may want to put a skin barrier ring or barrier paste on the skin around your stoma. If you use paste, put a thin layer on the skin around your stoma and let it dry.
 Center the pouch opening over the stoma and press it firmly into place. Squirt some pouch deodorant into the bottom pouch opening. Move the deodorant around the inside of the pouch with your fingertips. Use a piece of toilet paper to wipe away deodorant from the pouch opening. Put the clamp on the bottom of the pouch.
Cleaning a Reusable Pouch
Clean your pouch well every time you change it. This will reduce odor and extend the life of the pouch.
Remove the old double-faced adhesive or cement from the face plate of the pouch. Roll it off with your fingertips or use an adhesive remover solution.
Rinse the used pouch with warm water. Using a long-handled brush, scrub the inside of the pouch with liquid soap and warm water. Rinse the pouch with warm water. Hang the pouch over a towel rack or hook to dry. Keep the pouch away from sunlight or heat, which can harm it.
Wash your hands with soap and water. Store the pouch in a cool, dry place after the inside has dried.
Call Your Doctor If...
You have an ileostomy and you are vomiting or have diarrhea. People who have an ileostomy can quickly get dehydrated. Signs of dehydration include dry mouth or tongue, a dry stoma, failure to urinate as much as normal, and dizziness on standing up.

Seek Care Immediately If...
You have severe abdominal pain.
You vomit more than 3 times in 1 hour.
You are too weak to stand up.
You feel as though you are going to pass out.
You cannot stop your stoma from bleeding.
You have an ileostomy and nothing has come out for several hours. This may mean that your intestine is blocked.